Hutan Jatiwangi, pada suatu masa. Di rindang lebat pepohonan jati di kawasan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, itu dua lelaki berbeda umur tegak berhadapan. Yang satu pemuda berpakaian serba hitam. Di depannya seorang pria lebih tua, dibalut busana serba putih. Sebatang tongkat menyangga tubuhnya.
Pemuda berbaju hitam itu bernama Lokajaya, berandal yang
gemar membegal pejalan yang melewati hutan Jatiwangi. Ia silau oleh kemilau
kuning keemasan gagang tongkat yang dibawa pria berjubah putih. Siapa pun orang
berjubah putih itu, layaklah ia menjadi mangsa Lokajaya. Dan ketika tongkat itu
direbut, orang tua tadi sama sekali tak berlawan.
Ia tersungkur di tanah, kehilangan keseimbangan. Tongkat
berkepala emas itu berpindah tangan. Bangkit dari jatuhnya, orang tua itu
memberi nasihat, dengan tutur kata lembut. Nasihat inilah yang mengubah jalan
hidup Lokajaya. Ia menjadi murid orang tua itu –yang tiada lain daripada Sunan
Bonang. Lokajaya sendiri kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Begitulah legenda Sunan Kalijaga mengalir, dalam berbagai
versi. Jalan hidup sunan yang satu ini tercantum dalam berbagai naskah kuno,
babad, serat, hikayat, atau hanya cerita tutur turun-temurun. Mudah dipahami
kalau muatannya berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan asal-usul Sunan
Kalijaga.
Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan Kalijaga adalah putra
Wilwatikta, Adipati Tuban. Nama aslinya Raden Said, atau Raden Sahid. Menurut
babad dan serat, Sunan Kalijaga juga disebut Syekh Malaya, Raden Abdurrahman,
dan Pangeran Tuban. Gelar ”Kalijaga” sendiri punya banyak tafsir.
Ada yang menyatakan, asalnya dari kata jaga (menjaga) dan
kali (sungai). Versi ini didasarkan pada penantian Lokajaya akan kedatangan
Sunan Bonang selama tiga tahun, di tepi sungai. Ada juga yang menulis, kata itu
berasal dari nama sebuah desa di Cirebon, tempat Sunan Kalijaga pernah berdakwah.
Kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan misteri. Ia
diperkirakan lahir pada 1430-an, dihitung dari tahun pernikahan Kalijaga dengan
putri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan berusia 20-an tahun.
Sunan Ampel, yang diyakini lahir pada 1401, ketika menikahkan putrinya dengan
Sunan Kalijaga, berusia 50-an tahun.
Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam empat era
pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak
(1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram
(1580-an). Begitulah yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang memerikan
kedatangan Sunan Kalijaga ke kediaman Panembahan Senopati di Mataram.
Tak lama setelah itu, Sunan Kalijaga wafat. Jika kisah itu
benar, Sunan Kalijaga hidup selama sekitar 150-an tahun! Tapi, lepas dari
berbagai versi itu, kisah Sunan Kalijaga memang tak pernah padam di kalangan
masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, hingga Cirebon. Terutama caranya
berdakwah, yang dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain.
Ia memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di
masyarakat. Misalnya lewat wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang
sangat populer pada masa itu. Babad dan serat mencatat Sunan Kalijaga sebagai
penggubah beberapa tembang, di antaranya Dandanggula Semarangan –paduan melodi
Arab dan Jawa.
Tembang lainnya adalah Ilir-Ilir, meski ada yang menyebutnya
karya Sunan Bonang. Lariknya punya tafsir yang sarat dengan dakwah. Misalnya
tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar. Ungkapan ijo royo-royo bermakna
hijau, lambang Islam. Sedangkan Islam, sebagai agama baru, diamsalkan penganten
anyar, alias pengantin baru.
Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang
diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu
kini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, seiring dengan
berpindahnya kekuasan Islam ke Mataram. Pasangan gamelan itu kini dikenal
sebagai gamelan Sekaten.
Karya Sunan Kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit.
Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan
Kalijaga adalah wayang beber. Wayang jenis ini sebatas kertas yang bergambar
kisah pewayangan. Sunan Kalijaga diyakini sebagai penggubah wayang kulit.
Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas
kulit lembu. Bentuknya berkembang dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan
Demak, 1480-an. Cerita dari mulut ke mulut menyebut, Kalijaga juga piawai
mendalang. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal sebagai Ki Dalang
Sida Brangti.
Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga
bersalin nama menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga
menyisipkan dakwahnya. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah
Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah carangan.
Beberapa di antara yang terkenal adalah lakon Dewa Ruci,
Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah
Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari kalimat
syahadat. Bahkan kebiasan kenduri pun jadi sarana syiarnya.
Sunan Kalijaga mengganti puja-puji dalam sesaji itu dengan
doa dan bacaan dari kitab suci Al-Quran. Di awal syiarnya, Kalijaga selalu
berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan Prof. Husein Jayadiningrat,
Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah dibaiat
sebagai murid Sunan Bonang.
Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris. Cuma,
keberadaan Sunan Kalijaga di ”bumi Sriwijaya” itu tidak meninggalkan catatan
tertulis. Hanya disebut dalam Babad Cerbon, Sunan Kalijaga tiba di kawasan
Cirebon setelah berdakwah dari Palembang. Konon, Kalijaga ingin menyusul Sunan
Bonang, yang pergi ke Mekkah.
Tapi, oleh Syekh Maulana Magribi, Kalijaga diperintahkan
balik ke Jawa. Babad Cerbon menulis, Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di
Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 kilometer arah selatan kota.
Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih masjid
Keraton Kasepuhan.
Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati.
Kisah pertemuannya rada-rada aneh. Sunan Gunung Jati sengaja menguji Kalijaga
dengan sebongkah emas. Emas itu ditaruh di padasan, tempat orang mengambil
wudu. Kalijaga sendiri tak kaget mengingat ajaran Sunan Ampel, ”ojo gumunan lan
kagetan” (jangan mudah heran dan terkejut).
Ia ”menyulap” emas menjadi batu bata, dan menjadikannya
tempat menaruh bakiak bagi orang yang berwudu. Giliran Sunan Gunung Jati yang
takjub. Ia pun ”menganugerahkan” adiknya, Siti Zaenah, untuk diperistri Sunan
Kalijaga. Hanya beberapa tahun Sunan Kalijaga dikisahkan menetap di Cirebon.
Dakwahnya berlanjut ke arah timur, lewat pesisir utara
sampai ke Kadilangu, Demak. Di sinilah diyakini Sunan Kalijaga menetap lama
hingga akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina
kehidupan rumah tangga. Istri yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah, putri
Maulana Ishak.
Pernikahan dengan Dewi Sarah itu membuahkan tiga anak, satu
di antaranya Raden Umar Said, yang kelak bergelar Sunan Muria. Sunan Muria dan
Sunan Kudus tergolong satu aliran dalam berdakwah dengan Sunan Kalijaga. Metode
dakwah aliran Kalijaga itu amat keras ditentang Sunan Ampel, mertuanya, dan
Sunan Drajat, kakak iparnya.
Hingga kini para pengikut ajaran Sunan Kalijaga, Sunan
Muria, dan Sunan Kudus dikenal dengan sebutan kelompok ”Islam abangan”. Julukan
ini hingga kini melekat pada masyarakat di sepanjang pesisir utara, dari Demak,
Semarang, Tegal, hingga Cirebon. Selain dakwah dengan kontak budaya, kisah
spektakuler lainnya adalah pendirian Masjid Agung Demak.
Babad Demak menyebutkan, masjid itu berdiri pada 1477,
berdasarkan candrasengkala ”Lawang Trus Gunaning Janma” –bermakna angka 1399
tahun Saka. Kisah pendirian Masjid Agung Demak sendiri banyak bercampur dengan
dongeng. Masih belum jelas, benarkah
aden.web.id
About sedikitnoise
Hi, My Name is Hafeez. I am a webdesigner, blogspot developer and UI designer. I am a certified Themeforest top contributor and popular at JavaScript engineers. We have a team of professinal programmers, developers work together and make unique blogger templates.


0 comments:
Posting Komentar